Pada kegiatan kopi sore hari ini, bertempat di PT. Dalle Energi
Muhammad Rizky (Staff Khusus Direksi PLN) dan Irfan Nurhadi (Tenaga Ahli Komisi VII DPR RI)
Bersama I Care Indonesia akan membahas tentang
Benarkah Indonesia Bergerak ke Energi Terbarukan?

Dalam sepuluh tahun ini sudah banyak orang yang tidak terlalu paham tentang energi baru dan terbarukan (EBT) tertarik untuk masuk ke sektor EBT. Saat ini, hampir semua perusahaan sudah masuk ke bisnis listrik, karena EBT sangat berpotensi untuk dikembangkan bukan hanya untuk melistriki masyarakat tapi juga pada sektor transportasi.

Namun, saat ini konsep pemerintah adalah mendukung konsep listrik berkeadlian, dalam arti agar listrik dapat dinikmati semua kalangan masyarakat. Baik masyarakat berpendapatan rendah, maupun masyarakat di daerah terpencil. Oleh karena itu, fokus pemerintah adalah untuk menyediakan listrik dengan harga murah untuk masyarakat. Pemerintah sepertinya belum tertarik untuk mengikuti langkah negara-negara lain yg sudah beralih ke EBT, karena perlu dipertimbangkan pula apakah EBT ini akan mendukung konsep listrik berkeadilan.

Dengan alasan yang sama, pada beberapa daerah konsep “berkeadilan” ini kadang dipertanyakan masyarakat karena aktivitas penyediaan energi yang dilakukan pemerintah, seperti pembangunan dan pengoperasian PLTU, kadang memberikan dampak negatif terhadap masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena di Indonesia sendiri belum ada perhitungan dampak lingkungan (financial valuation impact) dalam pembangunan suatu pembangkit listrik, sehingga dampak lingkungan yang kadang timbul pun dirasa tidak sesuai dengan makna “berkeadilan”

Saat ini, nampaknya Indonesia sedang mengalami kebingungan antara tiga hal (The Energy Trilemma). Pertama yaitu tentang pasokan listrik, energy equity (keadilan energi) bagaimana caranya listrik itu aksesibel dan murah, serta terakhir environmental sustainability. Jadi, manakah yang harusnya diprioritaskan oleh pemerintah?

Berbicara tentang regulasi dan kebijakan, beberapa kebijakan yang patut digarisbawahi di Indonesia mengenai EBT antara lain adalah Kebijakan Energi Nasional Permen ESDM 79 Tahun 2014 yang menetapkan persenan EBT sebesar 23% pada 2025 dan Permen 50/2017 yg merupakan revisi dari Permen 12/2017. Berikutnya Indonesia juga sudah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29% di bawah business as usual pada tahun 2030 atau 41% dengan bantuan internasional. Komitmen percepatan pembangunan insfrastruktur juga diatur dalam PP No.4 tahun 2015 dan No. 14 tahun 2017. Selain itu ada juga program permudahan perizinan oleh BKPM dan keringanan pajak.

Sesuai dengan Pasal 9 butir 1 KEN, pada tahun 2025 target bauran EBT di Indonesia adalah sebesar 23% dan lebih lanjut sebesar 31% pada tahun 2050, sepanjang nilai ekonominya terpenuhi. Bauran EBT ini meliputi seluruh aspek EBT (bukan hanya listrik). Namun, yang sering terlupakan dari pasal ini adalah poin terpenuhinya nilai keekonomian EBT, dimana kebijakan-kebijakan yang baru saja dikeluarkan banyak yang bertentangan dengan poin ini. Hal ini dapat menimbulkan masalah karena harga jual dari PLN diatur dengan regulasi, namun harga listrik yang dibeli oleh PLN tidak teregulasi. Dampak dari peristiwa tersebut adalah naiknya subsidi, yang pada jangka panjang juga akan berdampak pada naiknya harga listrik.  Pada KEN dapat diamati juga bahwa tidak hanya energi terbarukan yang ditingkatkan persenannya dalam bauran energi, hal yang sama juga berlaku untuk batubara. Hal ini karena batubara masih merupakan sumber energi yang murah dan sesuai dengan konsep energi berkeadilan.

Peraturan lain yang juga berkaitan dengan energi terbarukan adalah Permen 50/2017, yang terbilang memiliki beberapa poin yang menguntungkan untuk para investor. Pada peraturan ini ditetapkan bahwa PLN harus membeli tenaga listrik dari pembangkit EBT, sepanjang feasibility study pembangkit tersebut baik, due diligence nya berhasil, dan perusahaan memiliki aspek finansial yang layak. Salah satu hal yang juga penting dalam mempertimbangkan pembelian pembangkit EBT ini adalah adanya demand pada daerah distribusi pembangkit listrik tersebut.

Hal lain yang juga menguntungkan para investor adalah keharusan PLN untuk menjalankan pembangkit EBT tersebut. Apabila sebelumnya PLN dapat memilih untuk hanya menjalankan pembangkit yang paling efisien dan murah untuk memenuhi kebutuhan pada suatu daerah (merit order), dalam Permen 50/2017 ini ditetapkan agar PLN harus menjalankan pembangkit terpasang, walaupun hal ini dapat meningkatkan biaya operasi. Mekanisme pelelangan juga telah dihilangkan, sehingga investor dapat langsung mengajukan proposalnya dan mendapat keputusan langsung dari PLN. Namun, terdapat kuota kapasitas untuk pembangunan PLTS dan PLTB, dimana seorang investor hanya dapat membangun sekian MW pembangkit jenis PLTS dan PLTB.

Sementara itu, harga jual beli listrik diatur dengan Biaya Pokok Produksi (BPP) Pembangkit yang diklasifikasikan berdasarkan jenis pembangkit. Untuk PLTS, PLTB, PLTBm, PLTBg, dan PLTA Laut, pada saat BPP daerah setempat lebih tinggi daripada BPP Nasional (7.3c USD/kWh) maka harga paling tinggi yang akan disetujui oleh PLN adalah 85% dari BPP setempat. Sedangkan, apabila BPP setempat lebih rendah daripada BPP Nasional maka digunakan sistem business to business (B to B). Selanjutnya, untuk PLTA, PLTP, dan PLTSa, apabila BPP setempat lebih tinggi daripada BPP Nasional maka harga tertinggi yang berlaku akan sama dengan BPP setempat. Pada kondisi BPP setempat yang lebih rendah daripada BPP Nasional, maka sistem B to B juga berlaku untuk jenis pembangkit – pembangkit ini.

Semenjak diberlakukannya sistem pembiayaan dengan BPP, dapat diamati bahwa jumlah PPA yang ditandangani mengalami peningkatan pesat. Hal ini membuktikan bahwa peraturan ini sangat efektif untuk menarik minat investor pada bidang energi terbarukan.

Sementara itu, hingga tahun 2026 pengembangan EBT direncanakan akan mencapai 21 GW, seperti ditampilkan pada Gambar di bawah ini

Gambar Roadmap pengembangan EBT di bidang kelistrikan sampai tahun 2026

Gambar Rencana penambahan pembangkit tahun 2017 – 2026

Gambar Proyeksi bauran energi tahun 2017 – 2026

Gambar Penambahan pembangkit EBT 2017 – 2026

Untuk mencapai target-target di atas, beberapa strategi telah direncanakan oleh PLN dalam mengembangkan sektor energi terbarukan. Salah satunya adalah program RE-BID (Renewable Energy Based on Industrial Development), yang juga sudah sejak lama dilakukan oleh Islandia. Islandia sendiri telah memproduksi 85% dari konsumsi energi listriknya dengan sumber-sumber terbarukan, dimana sumber energi terbesar yang dimanfaatkan oleh negara ini adalah panas bumi. Energi terbarukan di Islandia dapat mencapai nilai bauran yang sangat tinggi karena energi listrik yang dihasilkan bukan hanya dialokasikan untuk konsumsi rumahan namun lebih difokuskan untuk pemakaian industri. Indonesia sendiri telah berencana untuk mengaplikasikan skema yang sama di Kalimantan, dimana kebutuhan listrik sektor industri akan sepenuhnya diproduksi menggunakan energi air.

Selain itu, pembangunan centralized solar PV akan digunakan untuk memajukan daerah-daerah 3T yang mayoritas masih belum memiliki listrik atau hanya mengandalkan PLTD yang kurang ramah lingkungan dan cukup mahal. Ke depannya PLN berencana untuk mengurangi konsumsi solar dengan memberdayakan sumber listrik terbarukan dari PLTS di siang hari dan hanya mengandalkan PLTD sebagai sumber listrik di malam hari. Selain itu biofuel juga dilirik sebagai salah satu opsi untuk menggantikan solar.

Pengembangan strategi-strategi dan road map dari PLN ini menunjukkan bahwa pengembangan energi terbarukan mendapat dukungan yang besar dari pemerintah selama tetap berasas energi keadilan. Di masa depan, dengan semakin rendahnya biaya memproduksi energi baru dan terbarukan, serta dengan semakin berkembangnya teknologi PLN, bukan tidak mungkin energi terbarukan akan menjadi tumpuan masa depan Indonesia.
Di sisi lain, saat ini salah satu penghambat terbesar dalam pengembangan energi terbarukan adalah kurangnya dukungan dari sisi regulasi. Namun, tidak banyak orang yang tahu bagaimana regulasi atau kebijakan-kebijakan tersebut lahir, atau mengapa kebijakan yang dibuat saat ini terasa kurang mendukung kemajuan energi terbarukan.

Kebijakan sendiri adalah hasil dari sebuah proses politis. Salah satu dari definisi politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional, atau secara singkat politik dapat diartikan sebagai cara untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Di Indonesia, wadah dalam berpolitisi hanyalah partai politik, dimana ideologi partai di Indonesia terbagi menjadi Nasionalis dan Agamis. Berbeda dengan negara lain yang juga memiliki partai-partai dengan ideologi green politics (democracy, social justice, ecology, peace).

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai badan legislatif Republik Indonesia sendiri memiliki tiga fungsi, yaitu: Pengawasan, Legislasi, dan Anggaran. Fungsi pengawasan dilakukan DPR dengan haknya untuk memanggil Kementerian ESDM beserta badan-badan terkait (Pertamina, PLN, dst) dalam rangka mengawasi kinerja badan-badan tersebut. Sedangkan, fungsi anggaran dilaksanakan DPR sebagai penyetuju program-program dari badan-badan terkait, sehingga keberjalanan suatu program sangat bergantung pada penyetujuan anggaran oleh DPR.

Peran politik dalam kemajuan energi sangatlah signifikan. Dr. Veerabhadran Ramanathan, seorang peneliti climate change membuktikannya pada saat ia beralih menjadi science advisor di Vatican. Saat ia memperoleh kesempatan untuk berbincang dengan Paus Francis selama tiga menit, ia pun menyampaikan hal berikut

“Climate change was a moral and ethical issue. Most pollution comes from the wealthiest one billion and the worst consequences of that is going to be for the poorest three billion who almost have nothing to do with this pollution You are now the moral leader of the world. So in your speeches if you can ask people to be better stewards of the planet that will have a huge impact”

Percakapan sederhana ini berhasil membuat 35% dari 1.8 milyar umat katolik mengubah pandangannya tentang climate change, dampak yang jauh lebih signifikan dibandingkan dengan hasil riset ilmiah yang sebelumnya ia kerjakan bertahun-tahun. Hal ini menunjukkan bahwa dampak dari politik dapat sangat bermanfaat untuk kemajuan energi di dunia ini.

Namun, di Indonesia tingkat kepedulian terhadap isu energi (terutama energi terbarukan) dalam dunia politik masih minim. Mengapa hal ini bisa terjadi? Isu energi yang masih hangat menjadi pembahasan saat ini hanyalah listrik serta minyak dan gas bumi. Selain itu, batubara juga masih menjadi kebutuhan pokok dalam memenuhi kebutuhan energi Indonesia. Sumber energi terbarukan di Indonesia juga dianggap masih sulit dan investasinya pun cukup mahal, perizinan yang rumit juga semakin membuat penggunaan energi terbarukan di Indonesia kurang menarik bagi para investor.

Pada intinya, saat ini di Indonesia stockholder yang berkeinginan untuk bergerak di bidang EBT sudah semakin banyak. Namun, pemerintah sendiri masih fokus pada konsep energi berkeadilan, yang tidak terlalu mempermasalahkan sumber energi tetapi harga produksi dari energi tersebut. Tetapi dari pemaparan dan diskusi pada Kopi Sore, dapat kita simpulkan bahwa regulasi dan willingness pemerintah untuk bergerak ke arah EBT memang sangat menentukan kemajuan sektor ini. Belajar dari pengalaman Dr. Veerabhadran di atas, agar kemajuan yang nyata dalam bidang energi terbarukan dapat dicapai, maka salah satu cara yang paling konkrit adalah dengan berpolitik, baik itu dengan mendirikan partai yang menganut green ideology, ataupun menjadi tokoh politik. Selain itu, badan-badan non-pemerintah pun sebaiknya terus menggencarkan kegiatan riset ilmiah, karena dalam banyak kasus, hasil riset ilmiah sangat sering digunakan sebagai dasar dari pembuatan sebuah regulasi. Seperti ucapan Bapak Proklamasi Indonesia, Bung Karno, Indonesia dapat maju dengan baik apabila perkembangannya didasarkan dengan kajian-kajian ilmiah.